SEJARAH “BATU KAPSETE” (Batu Kepala)
Ini adalah
sebuah kisah dari Kampung Adat Namasawar yang penulis peroleh dari seorang
sesepuh (Orang Tua Belang) Kampung Adat Namasawar, yang kebetulan (Alm.)
merupakan kakek penulis dari nasab ibu. Kisah ini pernah beberapa kali
diceritakan oleh para orang tua di kampung namasawar kepada penulis pada saat
penulis ditugaskan untuk melantunkan “Kabata” (Nyanyian Adat) pada acara
Pemancangan Kepala Masjid Pulau Ay beberapa tahun lalu. Kisah ini dianggap
sebagai “Aib” di kerajaan Lewetaka pada masa itu dan diabadikan dalam “kabata”
yang akan dinyanyikan pada saat pementasan Tarian Maruka Kampung Namasawar dan
setiap Belang Adat Namasawar melewati tempat (batu kapsete) tersebut. Kisah ini sengaja ditulis untuk
memperkenalkan kepada kita semua tentang satu dari ribuan cerita sejarah yang
ada di Banda Naira yang pastinya akan hilang jika terus disimpan dan tidak
dipublikasikan. Semoga cerita ini bermanfaat bagi kita semua.
Dikisahkan
berabad-abad lalu di kerajaan lewetaka, suatu ketika Seorang Putri "Boy Ratang"(Saudara
Raja) bersama beberapa dayang-dayangnya berkeliling menggunakan perahu untuk
menikmati indahnya pemandangan negeri andansari. Tak lama berkeliling, tibalah
perahu sang putri beserta dayang-dayang dan pengawalnya di perairan pantai tita,
pada saat tiba di pantai tita sang putri melihat seorang pria sedang sibuk
menjaring ikan di pantai tersebut. Rombongan putri pun mendekati pria tersebut
yang ternyata adalah Kapitang Wailondor (Seorang panglima perang dari kampung
Adat Lonthoir). Pada saat sedang berada di pantai tita, tiba-tiba meloncatlah
seekor ikan skeke dari dalam air dan masuk ke dalam mulut sang putri. Sang
putri yang kebingungan langsung memerintahkan pengawal dan dayang-dayangnya
untuk kembali ke kerajaan. Tak lama dari kejadian tersebut, sang putri pun hamil.
Raja yang mengetahui tentang berita kehamilan sang putri memerintahkan untuk
melakukan persidangan untuk saudara perempuannya tersebut. Pada saat
persidangan dilaksanakan sang putri pun menceritakan peristiwa yang menyebabkan
kehamilannya tersebut. Raja lewetaka pun marah dan memerintahkan untuk
menghadirkan Kapitang Wailondor sebagai tersangka dalam persidangan. Raja yang
malu dengan berita kehamilan saudara perempuannya akhirnya memerintahkan untuk
mengasingkan saudara perempuannya tersebut. Sedangkan kapitang wailondor
dinyatakan bersalah dan akan dihukum penggal.
Setelah
menyediakan bekal yang cukup, Boy Ratang pun naik ke perahu dengan ditemani
beberapa orang pengawal dan dayang-dayang, perahu pun berlayar mengikuti arah
angin yang bertiup tanpa arah dan tujuan. Alkisah di salah satu negeri di tanah
seram yang bernama “Kelmuri” hiduplah seorang raja tua yang begitu adil
memimpin masyarakatnya, namun sang raja tidaklah memiliki keturunan. diakhir
hidupnya raja tersebut berpesan bahwa penggantinya nanti akan datang dari
negeri seberang. Sepeninggal raja tua tersebut, masyaraktnya selalu menunggu di
tepi pantai menanti seseorang yang dikatakan oleh sang raja tua. Hari-hari pun
berlalu tibalah disuatu pagi, masyarakat kelmuri berduyun-duyun menuju ke pantai
karena melihat sebuah perahu yang hendak menuju ke negerinya. Setelah tak lama
menunggu, tibalah boy ratang beserta dayang-dayang dan pengawalnya, setelah
memperkenalkan dirinya, masyarakat kelmuri pun yakin bahwa inilah orang yang
diceritakan oleh sang raja tua. Masyarakat pun mengangkat boy ratang sebagai
raja di kerajaan tersebut. Kisah ini diceritakan dalam kabata namasawar yang
berbunyi :
“BOY RATANG TIMBANG TANA TIMBANG
APA LELE KALA TARU SAU KELEMURI ANGKA RAJA OLE”
Kapitang
wailondor yang dinyatakan bersalah dalam persidangan di kerajaan akhirnya
dieksekusi. Beliau dihukum pancung di kerajaan lewetaka. Kepala kapitang
wailondor dibawa dengan menggunakan dua kora-kora lewetaka . Kepala kapitang
wailondor di isi di dalam “kambote” (sejenis anyaman berbahan daun kelapa atau
bambu) yang kemudian di ikatkan di belakan kora-kora namasawar. Sedangkan
kapitang sairun memotong lidah kapitang wailondor dan menggantungkannya di
belakang kora-kora sairun (saat ini digantikan dengan bendera merah putih yang digantungkan di bagian belakang belang pulau ay yang dikenal dengan "bendera lidah"). Kepala kapitang wailondor diletekan di bawah gunung papamberek
yang kemudian hingga saat ini dikenal dengan sebutan “Batu Kapsete”. Hingga
saat ini setiap Kora-kora Namasawar atau Kora-kora Sairun melewati lokasi
tersebut, maka akan dikumandangkan kabata sebagai berikut.
“DO YO KAPITANG KORA-KORA
LEWETAKA, BATU KAPASETE BATU GONG GAI E”
Inilah awal
terjadinya perselisihan antara kampung adat lonthoir (yang menganut paham
orsia/sembilan) dengan kampung adat sirun dan namasawar (yang menganut paham
orlima/lima). Terjadilah pembantaian orang-orang dari negeri ay (masyarakatnya
kapitang sairun) yang lewat di perairan depan pulau lonthoir menggunakan
perahu. Sejak perselisihan itu hingga saat ini kora-kora adat pulau ay (sairun)
tidak pernah melewati perairan depan negeri lonthoir. Pada saat dari dan ke
pulau naira untuk kegiatan apapun, kora-kora (belang) pulau ay akan melewati
perairan lautaka walaupun jaraknya lebih
jauh dibanding melewati perairan lonthoir.
“Ini lah satu cerita dari sekian
banyak cerita tentang banda naira, tulisan ini hanyalah berasal dari versi
kampong namasawar, jika ada kampong lain yg meliki versi cerita berbeda.
Silahkan ditulis sebagai khasah sejarah banda naira”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar