Sabtu, 07 Februari 2015

SEJARAH “BATU KAPSETE” (Batu Kepala)


Ini adalah sebuah kisah dari Kampung Adat Namasawar yang penulis peroleh dari seorang sesepuh (Orang Tua Belang) Kampung Adat Namasawar, yang kebetulan (Alm.) merupakan kakek penulis dari nasab ibu. Kisah ini pernah beberapa kali diceritakan oleh para orang tua di kampung namasawar kepada penulis pada saat penulis ditugaskan untuk melantunkan “Kabata” (Nyanyian Adat) pada acara Pemancangan Kepala Masjid Pulau Ay beberapa tahun lalu. Kisah ini dianggap sebagai “Aib” di kerajaan Lewetaka pada masa itu dan diabadikan dalam “kabata” yang akan dinyanyikan pada saat pementasan Tarian Maruka Kampung Namasawar dan setiap Belang Adat Namasawar melewati tempat (batu kapsete) tersebut. Kisah ini sengaja ditulis untuk memperkenalkan kepada kita semua tentang satu dari ribuan cerita sejarah yang ada di Banda Naira yang pastinya akan hilang jika terus disimpan dan tidak dipublikasikan. Semoga cerita ini bermanfaat bagi kita semua.
Dikisahkan berabad-abad lalu di kerajaan lewetaka, suatu ketika Seorang Putri "Boy Ratang"(Saudara Raja) bersama beberapa dayang-dayangnya berkeliling menggunakan perahu untuk menikmati indahnya pemandangan negeri andansari. Tak lama berkeliling, tibalah perahu sang putri beserta dayang-dayang dan pengawalnya di perairan pantai tita, pada saat tiba di pantai tita sang putri melihat seorang pria sedang sibuk menjaring ikan di pantai tersebut. Rombongan putri pun mendekati pria tersebut yang ternyata adalah Kapitang Wailondor (Seorang panglima perang dari kampung Adat Lonthoir). Pada saat sedang berada di pantai tita, tiba-tiba meloncatlah seekor ikan skeke dari dalam air dan masuk ke dalam mulut sang putri. Sang putri yang kebingungan langsung memerintahkan pengawal dan dayang-dayangnya untuk kembali ke kerajaan. Tak lama dari kejadian tersebut, sang putri pun hamil. Raja yang mengetahui tentang berita kehamilan sang putri memerintahkan untuk melakukan persidangan untuk saudara perempuannya tersebut. Pada saat persidangan dilaksanakan sang putri pun menceritakan peristiwa yang menyebabkan kehamilannya tersebut. Raja lewetaka pun marah dan memerintahkan untuk menghadirkan Kapitang Wailondor sebagai tersangka dalam persidangan. Raja yang malu dengan berita kehamilan saudara perempuannya akhirnya memerintahkan untuk mengasingkan saudara perempuannya tersebut. Sedangkan kapitang wailondor dinyatakan bersalah dan akan dihukum penggal.
Setelah menyediakan bekal yang cukup, Boy Ratang pun naik ke perahu dengan ditemani beberapa orang pengawal dan dayang-dayang, perahu pun berlayar mengikuti arah angin yang bertiup tanpa arah dan tujuan. Alkisah di salah satu negeri di tanah seram yang bernama “Kelmuri” hiduplah seorang raja tua yang begitu adil memimpin masyarakatnya, namun sang raja tidaklah memiliki keturunan. diakhir hidupnya raja tersebut berpesan bahwa penggantinya nanti akan datang dari negeri seberang. Sepeninggal raja tua tersebut, masyaraktnya selalu menunggu di tepi pantai menanti seseorang yang dikatakan oleh sang raja tua. Hari-hari pun berlalu tibalah disuatu pagi, masyarakat kelmuri berduyun-duyun menuju ke pantai karena melihat sebuah perahu yang hendak menuju ke negerinya. Setelah tak lama menunggu, tibalah boy ratang beserta dayang-dayang dan pengawalnya, setelah memperkenalkan dirinya, masyarakat kelmuri pun yakin bahwa inilah orang yang diceritakan oleh sang raja tua. Masyarakat pun mengangkat boy ratang sebagai raja di kerajaan tersebut. Kisah ini diceritakan dalam kabata namasawar yang berbunyi :
“BOY RATANG TIMBANG TANA TIMBANG APA LELE KALA TARU SAU KELEMURI ANGKA RAJA OLE”
                Kapitang wailondor yang dinyatakan bersalah dalam persidangan di kerajaan akhirnya dieksekusi. Beliau dihukum pancung di kerajaan lewetaka. Kepala kapitang wailondor dibawa dengan menggunakan dua kora-kora lewetaka . Kepala kapitang wailondor di isi di dalam “kambote” (sejenis anyaman berbahan daun kelapa atau bambu) yang kemudian di ikatkan di belakan kora-kora namasawar. Sedangkan kapitang sairun memotong lidah kapitang wailondor dan menggantungkannya di belakang kora-kora sairun (saat ini digantikan dengan bendera merah putih yang digantungkan di bagian belakang belang pulau ay yang dikenal dengan "bendera lidah"). Kepala kapitang wailondor diletekan di bawah gunung papamberek yang kemudian hingga saat ini dikenal dengan sebutan “Batu Kapsete”. Hingga saat ini setiap Kora-kora Namasawar atau Kora-kora Sairun melewati lokasi tersebut, maka akan dikumandangkan kabata sebagai berikut.
“DO YO KAPITANG KORA-KORA LEWETAKA, BATU KAPASETE BATU GONG GAI E”
Inilah awal terjadinya perselisihan antara kampung adat lonthoir (yang menganut paham orsia/sembilan) dengan kampung adat sirun dan namasawar (yang menganut paham orlima/lima). Terjadilah pembantaian orang-orang dari negeri ay (masyarakatnya kapitang sairun) yang lewat di perairan depan pulau lonthoir menggunakan perahu. Sejak perselisihan itu hingga saat ini kora-kora adat pulau ay (sairun) tidak pernah melewati perairan depan negeri lonthoir. Pada saat dari dan ke pulau naira untuk kegiatan apapun, kora-kora (belang) pulau ay akan melewati perairan  lautaka walaupun jaraknya lebih jauh dibanding melewati perairan lonthoir.

“Ini lah satu cerita dari sekian banyak cerita tentang banda naira, tulisan ini hanyalah berasal dari versi kampong namasawar, jika ada kampong lain yg meliki versi cerita berbeda. Silahkan ditulis sebagai khasah sejarah banda naira”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar