Sabtu, 31 Januari 2015

SEJUTA MAKNA DALAM ACARA BUKA PUANG “KAMPONG ADAT NAMASAWAR”

Description: C:\Users\Acer\Downloads\cakalele 3.jpgDi pagi yang sunyi ketika sang mentari belum lama muncul untuk menjalani rutinitasnya, ku lihat seseorang yang berpenampilan khas, dengan ikat kepala berwarna putih dan menggunakan “kain Tapi” (kain khas kampung adat yang hanya dipakai pada saat kegiatan yang ada kaitannya dengan ritual adat di banda naira) memberi salam di depan pintu rumahku, ternyata dia adalah utusan dari Kampong Adat Namasawar yang datang untuk menyampaikan undangan musyawarah di kampung adat namasawar. Ya tentulah ini bukan hal yang luar biasa bagiku karena sebagai salah satu personil cakalele pasti akan diundang dalam setiap musyawarah maupun kegiatan adat yang dilaksanakan di kampong adat namasawar. Musyawarah adat di kampong namasawar biasanya dilakukan untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan persiapan pelaksanaan kegiatan adat seperti “Buka Puang”.
Musyawarah Adat Namasawar……………..
Waktu menunjukan pukul 20.30 WIT suasana pun mulai ramai di sekitar pelataran  rumah kampong namsawar, para sesepuh selaku tokoh adat kampong namasawar pun satu persatu mulai terlihat datang dan menempati kursi-kursi yang telah disediakan di pelataran rumah adat. Kopi, teh dan beberapa piring yang berisi ubi goreng lengkap dengan sambalnya dihidangkan oleh mama-mama yang telah lebih dulu datang untuk mempersiapkan jamuan untuk musywarah. Tak ketinggalan anak-anak pun ikut riuh disekitar rumah adat seakan bergembira menikmati suasana kekeluargaan yang hadir dalam musyawarah dimalam ini. Malampun semakin larut, sekitar pukul 21.00 musyawarahpun dimulai ketika sebagian besar undangan telah hadir. Pembahasan malam hari ini adalah tentang penetapan waktu untuk  Acara “Buka Puang”. Buka Puang atau biasa disebut juga Buka Kampong adalah suatau prosesi adat untuk mengawali berbagai macam kegiatan adat di kampong namasawar yang ditandai dengan dibelahnya satu buah mayang kelapa (Pucuk bakal buah kelapa yang masih terbungkus oleh pelepahnya) yang dimaknai bagaikan anak yang baru dilahirkan. Ritual ini dilaksanakan sebagai awal dari segala aktifitas adat istiadat di kampong namasawar. Dari diskusi yang cukup panjang di malam ini, akhirnya diputuskan bahwa prosesi buka puang akan dilaksanakan dua minggu dari saat ini. Namun seperti biasa prosesi buka puang pastinya akan membutuhkan persiapan yang cukup banyak dan keterlibatan masyarakat yang banyak pula. Namun itulah tradisi di kampong namasawar yang petuanannya mencakup tiga negeri administratif di kepulauan banda yakni merdeka (kampong flak sampai ke lautaka), nusantara (kampong negre dan kampong cina) dan rajawali (kampong kun sampai ke mangkubatu), sepanjang pelaksanaan kegiatan adat pasti masyarakat dari ke tiga negeri tersebut akan berpartisipasi dengan sangat aktifnya mulai dari persiapan sampai dengan pelaksanaan kegiatan adat di kampong namsawar tersebut.
Kegiatan Persiapan …………….
Setiap sore, ketika waktu menunjukan pukul 16.30 wit sejak musyawarah adat dilaksanakan bunyi “Lot-lot” (pukulan  Tifa) di rumah kampung namasawar akan selalu terdengar sebagi penanda waktunya berkumpul untuk memulai segala bentuk persiapan, dimulai dari latihan dan persiapan personil cakalele, pemotongan bambu untuk pembuatan “sabua” (tenda) untuk dapur umum dan sabua undangan hingga persiapan daun kelapa (janur) untuk putar tampa siri. Tampa siri adalah tempat yang terbuat dari anyaman daun kelapa yang masih muda (janur) untuk meletakan bunga, kapur dan sirih pada saat ziarah ke makam para leluhur masyarakat banda sebelum pelaksanaan prosesi buka puang. Para bapak dan pemuda terlihat sibuk dengan berbagai aktifitasnya untuk mempersiapkan segala hal yang dipandu oleh seorang orlima kepala. Tak kalah juga para ibu yang sibuk  mempersiapkan jamuan yang akan dihidangkan selama kegiatan persiapan sampai kegiatan buka puang di laksanakan. Suasana yang jarang ditemui di zaman ini dan di manapun. Begitu terasa kebersamaan dan semanagat gotong royong khas masyarakat banda yang kini mulai tergerus oleh arus perkembangan zaman dan modernisasi.
Putar Tampa Siri …………..
Setelah segala bentuk persiapan diselesaikan, tepatnya lima hari sebelum hari ha, orang tua negri selaku pimpinan adat namasawar memimpin kegiatan “Putar Tampa Siri” yang dimulai dari pukul 08.00 WIT di “kamar puang rumah adat namasawar”. Kamar puang adalah ruangan tempat disimpannya berbagai macam perlengkapan dan benda-benda adat kampung namasawar. Karena ukuran yang tidak terlalu besar, kamar puang hanya diperbolehkan dimasuki oleh kurang dari sepuluh orang bapak-bapak yang terdiri dari “Orlima” (sebutan bagi lima orang sesepuh yang bertugas sebagai koordinator prlaksana kegiatan adat di kampong namasawar) maupun orang-orang yang dianggap punya kemampuan untuk membantu proses kegiatan putar tampa siri. Kegiatan putar tampa siri diawali dengan pembacaan surat Al-Fatihah dan lantunan doa-doa Tahlil yang dipimpin oleh orang tua negri, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan tampa siri yang berjumlah 17 buah. Pada saat para sesepuh lelaki membuat tampa siri, di ruangan yang berbeda para mama pun sibuk mempersiapkan isi dari tampa siri tersebut yang diantaranya bunga, sirih, kapur dll. Setelah ke-17 tampa siri selesai dibuat, para mama pun dipersilahkan masuk ke dalam kamar puang untuk mengisi tampa siri tersebut untuk selanjutnya dipakai untuk berziarah pada keesokan harinya.
Bawa Tampa Siri ……………
Satu hari setelah kegiatan putar tampa siri, dari 17 tampa siri yang telah disiapkan 15 tampa siri akan dibawa dalam kegiatan ziarah ke makam para sesepuh namasawar 2 tampa siri yang terdiri dari 1 tampa siri yang paling besar dan 1 tampa siri lainnya akan tetap berada di dalam rumah adat.. Para lelaki, baik pemuda maupun orang tua dari ketiga negeri administratif yang masuk dalam petuanan namasawarpun yang kurang lebih berjumlah 30 orang telah siap untuk ikut serta dalam ziarah tersebut. Rombongan peziarah dibagi menjadi tiga kelompok, kelompok pertama dipimpin oleh seorang Orlima yang bertugas untuk berziarah ke-5 makam dengan rute Rumah Adat – Mesang Jadi – Gunung Mangis – Gunung Tujuh – Batu Lanang – Parigi Laci, yang kemudian kelompok ini disebut kelompok gunung tujuh. Kelompok kedua dipimpin oleh Orlima Kepala dan seorang Imam untuk berziarah ke-5 makam dengan rute Rumah Adat – Kebun Kelapa – Papanberek – Boy Kerang – Kubor Gila – Kota Banda – BatuMasjid – Parigi Laci. Kelompok ke tiga adalah kelompok yang dipimpin oleh seorang Orlima dan mendapatkan rute lewat jalur laut. Ketiga kelompok itu telah disiapkan dengan berbagai macam perbekalan diantaranya “kaboro” (nasi yang dibungkus dengan daun pisang dan dimasak menggunakan santan kelapa), dan nantinya akan bertemu dan berkumpul di parigi laci. Dalam pembagian kelompok, para pemuda akan lebih cenderung dimasukan dalam kelompok satu dan dua karena pertimbangan medan yang harus ditempuh. Saya selalu digabungkan dalam kelompok satu dengan rute gunung tujuh. Kegiatan ziarah ini serasa bagaikan menapak tilas sejarah peradaban negeri banda beberapa abad silam. Suasana alam yang begitu indahnya dengan medan yang lumayan terjal begitu menguras tenaga ku. Namun canda tawa dan cerita yang selalu disampaikan oleh Orlima yang menjadi pemimpin kelompok kami seakan menjadi  penambah semangat untuk terus menyusuri situs dan peninggalan sejarah negeri banda tercinta. Setelah kurang lebih 4 jam menyusuri hutan menuju situs yang akan diziarahi, akhirnya kelompok kami tiba di parigi laci yang merupakan titik berkumpul ketiga kelompok ziarah. Pada saat tiba di parigi laci terlihat kelompok yang melewati jalur laut telah tiba duluan dengan berbagai perbekalan yang telah tersedia. Rasa lapar dari wajah kedua kelompok yang telah tiba tidak dapat disembunyikan, namun kami tetap harus menunggu sampai kelompok papanberek tiba untuk sama-sama menikmati hidangan tersebut. 30 menit setelah kami tiba, kelompok papanberekpun tiba di tempat berkumpul. Setelah semuanya duduk secara teratur, doapun dipanjatkan oleh seorang imam untuk ziarah di parigi laci. Setelah membacakan doa-doa tahlil, “Parigi Laci” sebuah sumur tua yang terletak di pesisir pantai ini pun dibuka penutupnya dan di ambil airnya untuk keperluan di rumah adat. Setelah mengisi penuh semua wadah yang disiapkan untuk menampung air, rombongan ziarahpun menuju ke dapur pala lautaka untuk berziarah. Setelah itu, seluruh kelompok ziarah menaiki perahu yang telah disiapkan oleh kelompok yang lewat jalur laut. Dalam perjalanan pulang sebelum ke rumah adat, perahu kami menuju tempat ziarah terakhir yaitu batu basar pante kasteng. Pada saat tiba di pante kasteng, bunyi lot-lot terdengar menyambut rombongan peziarah yang baru saja tiba. Kamipun dijemput oleh orang tua negri beserta mama-mama untuk kembali ke rumah adat. Rasa capek sepanjang perjalanan serasa terbayarkan dengan suasana keakraban dan sambutan yang begitu hangat ketika tiba di rumah adat namasawar.
Malam Buka Puang…………………..
                Pada sore hari menjelang malam buka puang para Orlima sudah mulai terlihat dengan kesibukannya. Orang tua negri  terlihat telah mempersiapkan mayang kelapa yang dibungkus dengan kain khas kampong namasawar, sementara orlima kepala beserta orlima lainnya telah berangkat untuk menandai “bulu bendera lima” (lima buah pohon bambu yang akan digunakan selama acara buka puang berlangsung). Setelah selesai shlat isya, berduyun-duyun masyarakatpun memenuhi areal rumah adat namasawar untuk menyaksikan prosesi buka puang kampong adat namasawar pada malam ini. Undangan dari kampong adat Ratu dan Kampong Fiat pun terlihat telah memenuhi kursi yang disediakan. Tepat pukul 21.00 wit, lampu disekitar rumah adatpun dimatikan suasanapun semakin senyap. Kesenyapan pun sirnah ketika suara lot-lot tifa dibunyikan berkali-kali kemudian terlihat beberapa orang yang keluar dari rumah adat dengan membawa dua buah obor, satu buah tiwal dan satu buah gong lengkap dengan ikat kepala berwarna putih khas kampong adat namasawar, dibagian depan terlihat lima orang orlima dengan kain tapi membawa dua buah parang dengan berlari-lari kecil dan kemudian hilang dalam kesenyapan malam. Setelah kurang lebih 30 menit berlalu terdengar bunyi tiwal lot-lot yang semakin mendekat ke arah rumah adat, ternyata mereka adalah kelompok yang ditugaskan untuk memotong bendera lima yang telah ditandai pada waktu sore tadi. Lima batang pohon bambu tersebut pun diletakan ditempat yang telah disediakan dan tidak menyentuh tanah sebelum puang terbuka.
                Tepat pukul 24.00 prosesi buka puangpun dimulai orang tua negeri namasawar beserta lima orang Orlima dan Mama lima masuk ke dalam kamar puang untuk melaksanakan prosesi buka puang, tidak lebih dari 30 menit puang pun terbuka. Meja puang di dalam kamar puang pun telah dipenuhi dengan benda-benda adat kampong namasawar. Begitu puang terbuka, tiwal dan gong kampong adat namasawarpun dibunyikan dan dengan serentak gerbang, bendera lima dan bendera-bendera adatpun dipasang di sekitar rumah kampong namasawar. Jendela-jendela rumah adatpun dibuka pertanda puang telah terbuka dan kegiatan adat di kampong namasawar sudah dimulai. Setelah puang terbuka, saudara-saudara dari kampong adat Ratu dan Fiat dipersilahkan untuk masuk ke kamar puang dan melihat puang. Setelah undangan dipersilahkan untuk melihat puang, keluarlah lima orang penari cakalele diikuti dengan puang dan lima orang mai-mai dan dua orang maruka. Setelah hormat pada puang dan bendera lima, kelima penari cakalele ini pun mementaskan tarian cakalele khas kampong adat namasawar. Tarian tersebut merefleksikan betapa gagahnya para prajurut kampong namasawar dalam melawan penjajah belanda pada saat itu. Setelah memntaskan tarian cakalele, kemudian penari cakalele beserta lima mai-mai dan dua orang maruka namasawar mementaskan tarian maruka yang diiringi musik gong sambilang dan kabata namasawar. Pentas tarian maruka merupakan penutup dari rangkaian prosesi buka puang di kampong namasawar. Namun kegiatan cakalele dan tarian maruka akan terus dipentaskan setiap malamnya selesai shalat isya selama rumah kampong dalam keadaan terbuka sampai dilaksanakan acra tutup kampong.
BUKA PUANG ADALAH BUDAYA YANG HARUS TERUS DI LESTARIKAN DI BANDA NAIRA, SELAIN SEBAGAI SEBUAH TRADISI, BUKA PUANG MEMILIKI BERBAGAI MAKNA FILOSOFIS YANG MENJELASKAN TENTANG IDENTITAS KATONG SEBAGAI ORANG BANDA”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar