SEJUTA MAKNA DALAM ACARA BUKA
PUANG “KAMPONG ADAT NAMASAWAR”

Di pagi yang sunyi ketika sang mentari
belum lama muncul untuk menjalani rutinitasnya, ku lihat seseorang yang
berpenampilan khas, dengan ikat kepala berwarna putih dan menggunakan “
kain Tapi” (kain khas kampung adat yang
hanya dipakai pada saat kegiatan yang ada kaitannya dengan ritual adat di banda
naira) memberi salam di depan pintu rumahku, ternyata dia adalah utusan dari
Kampong Adat Namasawar yang datang untuk menyampaikan undangan musyawarah di
kampung adat namasawar. Ya tentulah ini bukan hal yang luar biasa bagiku karena
sebagai salah satu personil cakalele pasti akan diundang dalam setiap
musyawarah maupun kegiatan adat yang dilaksanakan di kampong adat namasawar.
Musyawarah adat di kampong namasawar biasanya dilakukan untuk membicarakan
hal-hal yang berkaitan dengan persiapan pelaksanaan kegiatan adat seperti “
Buka Puang”.
Musyawarah Adat Namasawar……………..
Waktu
menunjukan pukul 20.30 WIT suasana pun mulai ramai di sekitar pelataran rumah kampong namsawar, para sesepuh selaku
tokoh adat kampong namasawar pun satu persatu mulai terlihat datang dan
menempati kursi-kursi yang telah disediakan di pelataran rumah adat. Kopi, teh
dan beberapa piring yang berisi ubi goreng lengkap dengan sambalnya dihidangkan
oleh mama-mama yang telah lebih dulu datang untuk mempersiapkan jamuan untuk
musywarah. Tak ketinggalan anak-anak pun ikut riuh disekitar rumah adat seakan
bergembira menikmati suasana kekeluargaan yang hadir dalam musyawarah dimalam
ini. Malampun semakin larut, sekitar pukul 21.00 musyawarahpun dimulai ketika
sebagian besar undangan telah hadir. Pembahasan malam hari ini adalah tentang
penetapan waktu untuk Acara “Buka Puang”.
Buka Puang atau biasa disebut juga Buka Kampong adalah suatau prosesi adat
untuk mengawali berbagai macam kegiatan adat di kampong namasawar yang ditandai
dengan dibelahnya satu buah mayang kelapa (Pucuk bakal buah kelapa yang masih
terbungkus oleh pelepahnya) yang dimaknai bagaikan anak yang baru dilahirkan.
Ritual ini dilaksanakan sebagai awal dari segala aktifitas adat istiadat di
kampong namasawar. Dari diskusi yang cukup panjang di malam ini, akhirnya
diputuskan bahwa prosesi buka puang akan dilaksanakan dua minggu dari saat ini.
Namun seperti biasa prosesi buka puang pastinya akan membutuhkan persiapan yang
cukup banyak dan keterlibatan masyarakat yang banyak pula. Namun itulah tradisi
di kampong namasawar yang petuanannya mencakup tiga negeri administratif di
kepulauan banda yakni merdeka (kampong flak sampai ke lautaka), nusantara (kampong
negre dan kampong cina) dan rajawali (kampong kun sampai ke mangkubatu),
sepanjang pelaksanaan kegiatan adat pasti masyarakat dari ke tiga negeri
tersebut akan berpartisipasi dengan sangat aktifnya mulai dari persiapan sampai
dengan pelaksanaan kegiatan adat di kampong namsawar tersebut.
Kegiatan Persiapan …………….
Setiap sore,
ketika waktu menunjukan pukul 16.30 wit sejak musyawarah adat dilaksanakan
bunyi “Lot-lot” (pukulan Tifa) di rumah
kampung namasawar akan selalu terdengar sebagi penanda waktunya berkumpul untuk
memulai segala bentuk persiapan, dimulai dari latihan dan persiapan personil
cakalele, pemotongan bambu untuk pembuatan “sabua” (tenda) untuk dapur umum dan
sabua undangan hingga persiapan daun kelapa (janur) untuk putar tampa siri.
Tampa siri adalah tempat yang terbuat dari anyaman daun kelapa yang masih muda
(janur) untuk meletakan bunga, kapur dan sirih pada saat ziarah ke makam para
leluhur masyarakat banda sebelum pelaksanaan prosesi buka puang. Para bapak dan
pemuda terlihat sibuk dengan berbagai aktifitasnya untuk mempersiapkan segala
hal yang dipandu oleh seorang orlima kepala. Tak kalah juga para ibu yang
sibuk mempersiapkan jamuan yang akan dihidangkan
selama kegiatan persiapan sampai kegiatan buka puang di laksanakan. Suasana yang
jarang ditemui di zaman ini dan di manapun. Begitu terasa kebersamaan dan
semanagat gotong royong khas masyarakat banda yang kini mulai tergerus oleh
arus perkembangan zaman dan modernisasi.
Putar Tampa Siri …………..
Setelah segala
bentuk persiapan diselesaikan, tepatnya lima hari sebelum hari ha, orang tua
negri selaku pimpinan adat namasawar memimpin kegiatan “Putar Tampa Siri” yang
dimulai dari pukul 08.00 WIT di “kamar puang rumah adat namasawar”. Kamar puang
adalah ruangan tempat disimpannya berbagai macam perlengkapan dan benda-benda
adat kampung namasawar. Karena ukuran yang tidak terlalu besar, kamar puang
hanya diperbolehkan dimasuki oleh kurang dari sepuluh orang bapak-bapak yang
terdiri dari “Orlima” (sebutan bagi lima orang sesepuh yang bertugas sebagai
koordinator prlaksana kegiatan adat di kampong namasawar) maupun orang-orang
yang dianggap punya kemampuan untuk membantu proses kegiatan putar tampa siri.
Kegiatan putar tampa siri diawali dengan pembacaan surat Al-Fatihah dan
lantunan doa-doa Tahlil yang dipimpin oleh orang tua negri, kemudian
dilanjutkan dengan pembuatan tampa siri yang berjumlah 17 buah. Pada saat para
sesepuh lelaki membuat tampa siri, di ruangan yang berbeda para mama pun sibuk
mempersiapkan isi dari tampa siri tersebut yang diantaranya bunga, sirih, kapur
dll. Setelah ke-17 tampa siri selesai dibuat, para mama pun dipersilahkan masuk
ke dalam kamar puang untuk mengisi tampa siri tersebut untuk selanjutnya
dipakai untuk berziarah pada keesokan harinya.
Bawa Tampa Siri ……………
Satu hari
setelah kegiatan putar tampa siri, dari 17 tampa siri yang telah disiapkan 15
tampa siri akan dibawa dalam kegiatan ziarah ke makam para sesepuh namasawar 2
tampa siri yang terdiri dari 1 tampa siri yang paling besar dan 1 tampa siri
lainnya akan tetap berada di dalam rumah adat.. Para lelaki, baik pemuda maupun
orang tua dari ketiga negeri administratif yang masuk dalam petuanan
namasawarpun yang kurang lebih berjumlah 30 orang telah siap untuk ikut serta
dalam ziarah tersebut. Rombongan peziarah dibagi menjadi tiga kelompok,
kelompok pertama dipimpin oleh seorang Orlima yang bertugas untuk berziarah
ke-5 makam dengan rute Rumah Adat – Mesang Jadi – Gunung Mangis – Gunung Tujuh
– Batu Lanang – Parigi Laci, yang kemudian kelompok ini disebut kelompok gunung
tujuh. Kelompok kedua dipimpin oleh Orlima Kepala dan seorang Imam untuk
berziarah ke-5 makam dengan rute Rumah Adat – Kebun Kelapa – Papanberek – Boy
Kerang – Kubor Gila – Kota Banda – BatuMasjid – Parigi Laci. Kelompok ke tiga
adalah kelompok yang dipimpin oleh seorang Orlima dan mendapatkan rute lewat
jalur laut. Ketiga kelompok itu telah disiapkan dengan berbagai macam
perbekalan diantaranya “kaboro” (nasi yang dibungkus dengan daun pisang dan
dimasak menggunakan santan kelapa), dan nantinya akan bertemu dan berkumpul di
parigi laci. Dalam pembagian kelompok, para pemuda akan lebih cenderung
dimasukan dalam kelompok satu dan dua karena pertimbangan medan yang harus
ditempuh. Saya selalu digabungkan dalam kelompok satu dengan rute gunung tujuh.
Kegiatan ziarah ini serasa bagaikan menapak tilas sejarah peradaban negeri
banda beberapa abad silam. Suasana alam yang begitu indahnya dengan medan yang
lumayan terjal begitu menguras tenaga ku. Namun canda tawa dan cerita yang selalu
disampaikan oleh Orlima yang menjadi pemimpin kelompok kami seakan menjadi penambah semangat untuk terus menyusuri situs
dan peninggalan sejarah negeri banda tercinta. Setelah kurang lebih 4 jam
menyusuri hutan menuju situs yang akan diziarahi, akhirnya kelompok kami tiba
di parigi laci yang merupakan titik berkumpul ketiga kelompok ziarah. Pada saat
tiba di parigi laci terlihat kelompok yang melewati jalur laut telah tiba
duluan dengan berbagai perbekalan yang telah tersedia. Rasa lapar dari wajah
kedua kelompok yang telah tiba tidak dapat disembunyikan, namun kami tetap
harus menunggu sampai kelompok papanberek tiba untuk sama-sama menikmati
hidangan tersebut. 30 menit setelah kami tiba, kelompok papanberekpun tiba di
tempat berkumpul. Setelah semuanya duduk secara teratur, doapun dipanjatkan
oleh seorang imam untuk ziarah di parigi laci. Setelah membacakan doa-doa
tahlil, “Parigi Laci” sebuah sumur tua yang terletak di pesisir pantai ini pun
dibuka penutupnya dan di ambil airnya untuk keperluan di rumah adat. Setelah
mengisi penuh semua wadah yang disiapkan untuk menampung air, rombongan
ziarahpun menuju ke dapur pala lautaka untuk berziarah. Setelah itu, seluruh
kelompok ziarah menaiki perahu yang telah disiapkan oleh kelompok yang lewat
jalur laut. Dalam perjalanan pulang sebelum ke rumah adat, perahu kami menuju
tempat ziarah terakhir yaitu batu basar pante kasteng. Pada saat tiba di pante
kasteng, bunyi lot-lot terdengar menyambut rombongan peziarah yang baru saja
tiba. Kamipun dijemput oleh orang tua negri beserta mama-mama untuk kembali ke
rumah adat. Rasa capek sepanjang perjalanan serasa terbayarkan dengan suasana
keakraban dan sambutan yang begitu hangat ketika tiba di rumah adat namasawar.
Malam Buka Puang…………………..
Pada
sore hari menjelang malam buka puang para Orlima sudah mulai terlihat dengan
kesibukannya. Orang tua negri terlihat
telah mempersiapkan mayang kelapa yang dibungkus dengan kain khas kampong
namasawar, sementara orlima kepala beserta orlima lainnya telah berangkat untuk
menandai “bulu bendera lima” (lima buah pohon bambu yang akan digunakan selama
acara buka puang berlangsung). Setelah selesai shlat isya, berduyun-duyun
masyarakatpun memenuhi areal rumah adat namasawar untuk menyaksikan prosesi
buka puang kampong adat namasawar pada malam ini. Undangan dari kampong adat
Ratu dan Kampong Fiat pun terlihat telah memenuhi kursi yang disediakan. Tepat
pukul 21.00 wit, lampu disekitar rumah adatpun dimatikan suasanapun semakin
senyap. Kesenyapan pun sirnah ketika suara lot-lot tifa dibunyikan berkali-kali
kemudian terlihat beberapa orang yang keluar dari rumah adat dengan membawa dua
buah obor, satu buah tiwal dan satu buah gong lengkap dengan ikat kepala
berwarna putih khas kampong adat namasawar, dibagian depan terlihat lima orang
orlima dengan kain tapi membawa dua buah parang dengan berlari-lari kecil dan
kemudian hilang dalam kesenyapan malam. Setelah kurang lebih 30 menit berlalu
terdengar bunyi tiwal lot-lot yang semakin mendekat ke arah rumah adat,
ternyata mereka adalah kelompok yang ditugaskan untuk memotong bendera lima
yang telah ditandai pada waktu sore tadi. Lima batang pohon bambu tersebut pun
diletakan ditempat yang telah disediakan dan tidak menyentuh tanah sebelum
puang terbuka.
Tepat
pukul 24.00 prosesi buka puangpun dimulai orang tua negeri namasawar beserta
lima orang Orlima dan Mama lima masuk ke dalam kamar puang untuk melaksanakan
prosesi buka puang, tidak lebih dari 30 menit puang pun terbuka. Meja puang di
dalam kamar puang pun telah dipenuhi dengan benda-benda adat kampong namasawar.
Begitu puang terbuka, tiwal dan gong kampong adat namasawarpun dibunyikan dan
dengan serentak gerbang, bendera lima dan bendera-bendera adatpun dipasang di
sekitar rumah kampong namasawar. Jendela-jendela rumah adatpun dibuka pertanda
puang telah terbuka dan kegiatan adat di kampong namasawar sudah dimulai.
Setelah puang terbuka, saudara-saudara dari kampong adat Ratu dan Fiat
dipersilahkan untuk masuk ke kamar puang dan melihat puang. Setelah undangan
dipersilahkan untuk melihat puang, keluarlah lima orang penari cakalele diikuti
dengan puang dan lima orang mai-mai dan dua orang maruka. Setelah hormat pada
puang dan bendera lima, kelima penari cakalele ini pun mementaskan tarian
cakalele khas kampong adat namasawar. Tarian tersebut merefleksikan betapa
gagahnya para prajurut kampong namasawar dalam melawan penjajah belanda pada
saat itu. Setelah memntaskan tarian cakalele, kemudian penari cakalele beserta
lima mai-mai dan dua orang maruka namasawar mementaskan tarian maruka yang diiringi
musik gong sambilang dan kabata namasawar. Pentas tarian maruka merupakan
penutup dari rangkaian prosesi buka puang di kampong namasawar. Namun kegiatan
cakalele dan tarian maruka akan terus dipentaskan setiap malamnya selesai
shalat isya selama rumah kampong dalam keadaan terbuka sampai dilaksanakan acra
tutup kampong.
“BUKA PUANG ADALAH BUDAYA YANG
HARUS TERUS DI LESTARIKAN DI BANDA NAIRA, SELAIN SEBAGAI SEBUAH TRADISI, BUKA
PUANG MEMILIKI BERBAGAI MAKNA FILOSOFIS YANG MENJELASKAN TENTANG IDENTITAS KATONG
SEBAGAI ORANG BANDA”