Sabtu, 07 Februari 2015

SEJARAH “BATU KAPSETE” (Batu Kepala)


Ini adalah sebuah kisah dari Kampung Adat Namasawar yang penulis peroleh dari seorang sesepuh (Orang Tua Belang) Kampung Adat Namasawar, yang kebetulan (Alm.) merupakan kakek penulis dari nasab ibu. Kisah ini pernah beberapa kali diceritakan oleh para orang tua di kampung namasawar kepada penulis pada saat penulis ditugaskan untuk melantunkan “Kabata” (Nyanyian Adat) pada acara Pemancangan Kepala Masjid Pulau Ay beberapa tahun lalu. Kisah ini dianggap sebagai “Aib” di kerajaan Lewetaka pada masa itu dan diabadikan dalam “kabata” yang akan dinyanyikan pada saat pementasan Tarian Maruka Kampung Namasawar dan setiap Belang Adat Namasawar melewati tempat (batu kapsete) tersebut. Kisah ini sengaja ditulis untuk memperkenalkan kepada kita semua tentang satu dari ribuan cerita sejarah yang ada di Banda Naira yang pastinya akan hilang jika terus disimpan dan tidak dipublikasikan. Semoga cerita ini bermanfaat bagi kita semua.
Dikisahkan berabad-abad lalu di kerajaan lewetaka, suatu ketika Seorang Putri "Boy Ratang"(Saudara Raja) bersama beberapa dayang-dayangnya berkeliling menggunakan perahu untuk menikmati indahnya pemandangan negeri andansari. Tak lama berkeliling, tibalah perahu sang putri beserta dayang-dayang dan pengawalnya di perairan pantai tita, pada saat tiba di pantai tita sang putri melihat seorang pria sedang sibuk menjaring ikan di pantai tersebut. Rombongan putri pun mendekati pria tersebut yang ternyata adalah Kapitang Wailondor (Seorang panglima perang dari kampung Adat Lonthoir). Pada saat sedang berada di pantai tita, tiba-tiba meloncatlah seekor ikan skeke dari dalam air dan masuk ke dalam mulut sang putri. Sang putri yang kebingungan langsung memerintahkan pengawal dan dayang-dayangnya untuk kembali ke kerajaan. Tak lama dari kejadian tersebut, sang putri pun hamil. Raja yang mengetahui tentang berita kehamilan sang putri memerintahkan untuk melakukan persidangan untuk saudara perempuannya tersebut. Pada saat persidangan dilaksanakan sang putri pun menceritakan peristiwa yang menyebabkan kehamilannya tersebut. Raja lewetaka pun marah dan memerintahkan untuk menghadirkan Kapitang Wailondor sebagai tersangka dalam persidangan. Raja yang malu dengan berita kehamilan saudara perempuannya akhirnya memerintahkan untuk mengasingkan saudara perempuannya tersebut. Sedangkan kapitang wailondor dinyatakan bersalah dan akan dihukum penggal.
Setelah menyediakan bekal yang cukup, Boy Ratang pun naik ke perahu dengan ditemani beberapa orang pengawal dan dayang-dayang, perahu pun berlayar mengikuti arah angin yang bertiup tanpa arah dan tujuan. Alkisah di salah satu negeri di tanah seram yang bernama “Kelmuri” hiduplah seorang raja tua yang begitu adil memimpin masyarakatnya, namun sang raja tidaklah memiliki keturunan. diakhir hidupnya raja tersebut berpesan bahwa penggantinya nanti akan datang dari negeri seberang. Sepeninggal raja tua tersebut, masyaraktnya selalu menunggu di tepi pantai menanti seseorang yang dikatakan oleh sang raja tua. Hari-hari pun berlalu tibalah disuatu pagi, masyarakat kelmuri berduyun-duyun menuju ke pantai karena melihat sebuah perahu yang hendak menuju ke negerinya. Setelah tak lama menunggu, tibalah boy ratang beserta dayang-dayang dan pengawalnya, setelah memperkenalkan dirinya, masyarakat kelmuri pun yakin bahwa inilah orang yang diceritakan oleh sang raja tua. Masyarakat pun mengangkat boy ratang sebagai raja di kerajaan tersebut. Kisah ini diceritakan dalam kabata namasawar yang berbunyi :
“BOY RATANG TIMBANG TANA TIMBANG APA LELE KALA TARU SAU KELEMURI ANGKA RAJA OLE”
                Kapitang wailondor yang dinyatakan bersalah dalam persidangan di kerajaan akhirnya dieksekusi. Beliau dihukum pancung di kerajaan lewetaka. Kepala kapitang wailondor dibawa dengan menggunakan dua kora-kora lewetaka . Kepala kapitang wailondor di isi di dalam “kambote” (sejenis anyaman berbahan daun kelapa atau bambu) yang kemudian di ikatkan di belakan kora-kora namasawar. Sedangkan kapitang sairun memotong lidah kapitang wailondor dan menggantungkannya di belakang kora-kora sairun (saat ini digantikan dengan bendera merah putih yang digantungkan di bagian belakang belang pulau ay yang dikenal dengan "bendera lidah"). Kepala kapitang wailondor diletekan di bawah gunung papamberek yang kemudian hingga saat ini dikenal dengan sebutan “Batu Kapsete”. Hingga saat ini setiap Kora-kora Namasawar atau Kora-kora Sairun melewati lokasi tersebut, maka akan dikumandangkan kabata sebagai berikut.
“DO YO KAPITANG KORA-KORA LEWETAKA, BATU KAPASETE BATU GONG GAI E”
Inilah awal terjadinya perselisihan antara kampung adat lonthoir (yang menganut paham orsia/sembilan) dengan kampung adat sirun dan namasawar (yang menganut paham orlima/lima). Terjadilah pembantaian orang-orang dari negeri ay (masyarakatnya kapitang sairun) yang lewat di perairan depan pulau lonthoir menggunakan perahu. Sejak perselisihan itu hingga saat ini kora-kora adat pulau ay (sairun) tidak pernah melewati perairan depan negeri lonthoir. Pada saat dari dan ke pulau naira untuk kegiatan apapun, kora-kora (belang) pulau ay akan melewati perairan  lautaka walaupun jaraknya lebih jauh dibanding melewati perairan lonthoir.

“Ini lah satu cerita dari sekian banyak cerita tentang banda naira, tulisan ini hanyalah berasal dari versi kampong namasawar, jika ada kampong lain yg meliki versi cerita berbeda. Silahkan ditulis sebagai khasah sejarah banda naira”



Minggu, 01 Februari 2015

RINDU BAKU DAPA


       Pagi itu sekitar pukul 09.15 WIB, hp saya serasa bergetar berulang kali. hp saya  memang sengaja di silent dan hanya mengaktifkan tanda getar setiap akan memulai aktifitas kuliah. sekitar tiga panggilan dan beberapa pesan tidak saya hiraukan karena sedang fokus memperhatikan penjelasan dosen dan pastinya takut dimarahin dosen kalau kedapatan nelpon atau smsan pada saat kuliah berlangsung. setelah selesai kelas, saya langsung memeriksa hp namun ketiga panggilan tersebut ternyata nomor baru yang belum terdaftar di kontak hp saya. hal itu membuat saya semakin penasaran dengan penelpon misterius tersebut. selanjutnya satu persatu sms saya baca dan ternyata isi dari sms tersebut berbunyi "Sam (panggilan akrab ku di kampung), ini kaka Eli, tolong diangkat dong telpon nya". ternyata penelpon misterius tersebut adalah Ibu Herlina, tetangga ku di Banda Naira yang sudah 7 tahun ikut suaminya dan menetap di Indramayu sejak selesai menikah (hal ini saya ketahi setelah berkomonikasi via telpon dengan orangnya, hehe). setelah membaca sms, saya langsung menelpon balik nomor hp tersebut dan meminta maaf sambil menyampaikan alasan tidak menjawab telponnya tadi. Ibu Eli pun menceritrakan panjang lebar perihal beliau menelepon saya. beliau menanyakan informasi tentang kepastian undangan acara "Rindu Baku Dapa" yang akan dilaksanakan oleh IKMB DKI Jakarta pada tanggal 1 februari 2015. Ibu Eli adalah satu diantara sekian banyak bandanes yang telah lama hidup di negeri orang dan merindukan suasana kampung halaman. beliau berharap acara rindu baku dapa tersebut dapat menjadi obat rindu baginya yang sudah bertahun-tahun hidup di tanah rantau. setelah mendengar pertanyaan ibu eli, saya langsung memastikan bahwa acara itu benar dan pasti akan dilaksanakan pada tanggal 1 februari 2015 berdasarkan undangan yang telah disebarkan di sosial media. begitu mendapatkan jawaban, ibu eli langsung manyampaikan terima kasih dan langsung berkata ia akan datang ke acara tersebut. setelah sedikit bercanda, kamipun mengakhiri perbincangan kami via telepon tersebut.
         Tepat malam minggu tanggal 31 Januari 2015, pada saat sedang asyik on line, saya dikagetkan dengan bunyi dering hp yang ternyata penelponnya adalah ibu eli. setelah menyapa dengan salam, ia langsung menyampaikan bahwa akan berangkat jam 4 pagi dari indramayu menuju jakarta untuk mengikuti acara besok hari yang akan dimulai pukul 10 pagi tepatnya. setelah terdiam dan berfikir sejenak setelah ditelepon, akhirnya saya menyadari bahwa betapa berartinya acara ini untuk basudara yang berada di negeri orang.
         Hari minggu tanggal 1 februari 2015, pukul 6.20 wib saya dikagetkan dengan dering hp, dengan mata yang masih ngantuk saya mencoba melihat siapa yang menelepon dan ternyata ibu eli yang menelepon. beliau menyaampaikan bahwa ia beserta keluarganya sedang berada dalam perjalanan menuju ke jakarta. walaupun suasana hujan yang begitu deras tidak menyurutkan semangat beliau untuk menghadiri acara tersebut. walaupun sempat beberapa kali nyasar dalam perjalanan, akhirnya ibu eli beserta keluarganya tiba di tempat kegiatan.
     Suasana kekeluargaan begitu terasa di gedung graha marinir kwitang jakarta pusat tersebut. ratusan orang banda yang berada di jabodetabek dan sekitarnya hadir dan saling melepas rindu di tempat itu. suasana semakin meriah dengan iringan musik gong sambilang dan sawat khas banda naira yang membuat suasana terasa bagaikan berada di kampung halaman. acarapun dilanjutkan sambutan tokoh-tokoh masyarakat banda dan diakhiri dengan jamuan makan siang dengan menu khas banda naira dan di iringi dengan lagu-lagu khas banda naira. tak lama berselang musik  polnes pun diputar dan tanpa dikomando berpasang-pasangan mulai mengambil bagian. 
Hal yang selalu menjadi beban terberat di setiap kesempatan adalah perpisahan, namun setidaknya acara hari ini  laksana hujan sehari yang telah dinanti bertahun-tahun oleh para bandanes yang hidup jauh dari tanah kelahirannya.


Sabtu, 31 Januari 2015

SEJUTA MAKNA DALAM ACARA BUKA PUANG “KAMPONG ADAT NAMASAWAR”

Description: C:\Users\Acer\Downloads\cakalele 3.jpgDi pagi yang sunyi ketika sang mentari belum lama muncul untuk menjalani rutinitasnya, ku lihat seseorang yang berpenampilan khas, dengan ikat kepala berwarna putih dan menggunakan “kain Tapi” (kain khas kampung adat yang hanya dipakai pada saat kegiatan yang ada kaitannya dengan ritual adat di banda naira) memberi salam di depan pintu rumahku, ternyata dia adalah utusan dari Kampong Adat Namasawar yang datang untuk menyampaikan undangan musyawarah di kampung adat namasawar. Ya tentulah ini bukan hal yang luar biasa bagiku karena sebagai salah satu personil cakalele pasti akan diundang dalam setiap musyawarah maupun kegiatan adat yang dilaksanakan di kampong adat namasawar. Musyawarah adat di kampong namasawar biasanya dilakukan untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan persiapan pelaksanaan kegiatan adat seperti “Buka Puang”.
Musyawarah Adat Namasawar……………..
Waktu menunjukan pukul 20.30 WIT suasana pun mulai ramai di sekitar pelataran  rumah kampong namsawar, para sesepuh selaku tokoh adat kampong namasawar pun satu persatu mulai terlihat datang dan menempati kursi-kursi yang telah disediakan di pelataran rumah adat. Kopi, teh dan beberapa piring yang berisi ubi goreng lengkap dengan sambalnya dihidangkan oleh mama-mama yang telah lebih dulu datang untuk mempersiapkan jamuan untuk musywarah. Tak ketinggalan anak-anak pun ikut riuh disekitar rumah adat seakan bergembira menikmati suasana kekeluargaan yang hadir dalam musyawarah dimalam ini. Malampun semakin larut, sekitar pukul 21.00 musyawarahpun dimulai ketika sebagian besar undangan telah hadir. Pembahasan malam hari ini adalah tentang penetapan waktu untuk  Acara “Buka Puang”. Buka Puang atau biasa disebut juga Buka Kampong adalah suatau prosesi adat untuk mengawali berbagai macam kegiatan adat di kampong namasawar yang ditandai dengan dibelahnya satu buah mayang kelapa (Pucuk bakal buah kelapa yang masih terbungkus oleh pelepahnya) yang dimaknai bagaikan anak yang baru dilahirkan. Ritual ini dilaksanakan sebagai awal dari segala aktifitas adat istiadat di kampong namasawar. Dari diskusi yang cukup panjang di malam ini, akhirnya diputuskan bahwa prosesi buka puang akan dilaksanakan dua minggu dari saat ini. Namun seperti biasa prosesi buka puang pastinya akan membutuhkan persiapan yang cukup banyak dan keterlibatan masyarakat yang banyak pula. Namun itulah tradisi di kampong namasawar yang petuanannya mencakup tiga negeri administratif di kepulauan banda yakni merdeka (kampong flak sampai ke lautaka), nusantara (kampong negre dan kampong cina) dan rajawali (kampong kun sampai ke mangkubatu), sepanjang pelaksanaan kegiatan adat pasti masyarakat dari ke tiga negeri tersebut akan berpartisipasi dengan sangat aktifnya mulai dari persiapan sampai dengan pelaksanaan kegiatan adat di kampong namsawar tersebut.
Kegiatan Persiapan …………….
Setiap sore, ketika waktu menunjukan pukul 16.30 wit sejak musyawarah adat dilaksanakan bunyi “Lot-lot” (pukulan  Tifa) di rumah kampung namasawar akan selalu terdengar sebagi penanda waktunya berkumpul untuk memulai segala bentuk persiapan, dimulai dari latihan dan persiapan personil cakalele, pemotongan bambu untuk pembuatan “sabua” (tenda) untuk dapur umum dan sabua undangan hingga persiapan daun kelapa (janur) untuk putar tampa siri. Tampa siri adalah tempat yang terbuat dari anyaman daun kelapa yang masih muda (janur) untuk meletakan bunga, kapur dan sirih pada saat ziarah ke makam para leluhur masyarakat banda sebelum pelaksanaan prosesi buka puang. Para bapak dan pemuda terlihat sibuk dengan berbagai aktifitasnya untuk mempersiapkan segala hal yang dipandu oleh seorang orlima kepala. Tak kalah juga para ibu yang sibuk  mempersiapkan jamuan yang akan dihidangkan selama kegiatan persiapan sampai kegiatan buka puang di laksanakan. Suasana yang jarang ditemui di zaman ini dan di manapun. Begitu terasa kebersamaan dan semanagat gotong royong khas masyarakat banda yang kini mulai tergerus oleh arus perkembangan zaman dan modernisasi.
Putar Tampa Siri …………..
Setelah segala bentuk persiapan diselesaikan, tepatnya lima hari sebelum hari ha, orang tua negri selaku pimpinan adat namasawar memimpin kegiatan “Putar Tampa Siri” yang dimulai dari pukul 08.00 WIT di “kamar puang rumah adat namasawar”. Kamar puang adalah ruangan tempat disimpannya berbagai macam perlengkapan dan benda-benda adat kampung namasawar. Karena ukuran yang tidak terlalu besar, kamar puang hanya diperbolehkan dimasuki oleh kurang dari sepuluh orang bapak-bapak yang terdiri dari “Orlima” (sebutan bagi lima orang sesepuh yang bertugas sebagai koordinator prlaksana kegiatan adat di kampong namasawar) maupun orang-orang yang dianggap punya kemampuan untuk membantu proses kegiatan putar tampa siri. Kegiatan putar tampa siri diawali dengan pembacaan surat Al-Fatihah dan lantunan doa-doa Tahlil yang dipimpin oleh orang tua negri, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan tampa siri yang berjumlah 17 buah. Pada saat para sesepuh lelaki membuat tampa siri, di ruangan yang berbeda para mama pun sibuk mempersiapkan isi dari tampa siri tersebut yang diantaranya bunga, sirih, kapur dll. Setelah ke-17 tampa siri selesai dibuat, para mama pun dipersilahkan masuk ke dalam kamar puang untuk mengisi tampa siri tersebut untuk selanjutnya dipakai untuk berziarah pada keesokan harinya.
Bawa Tampa Siri ……………
Satu hari setelah kegiatan putar tampa siri, dari 17 tampa siri yang telah disiapkan 15 tampa siri akan dibawa dalam kegiatan ziarah ke makam para sesepuh namasawar 2 tampa siri yang terdiri dari 1 tampa siri yang paling besar dan 1 tampa siri lainnya akan tetap berada di dalam rumah adat.. Para lelaki, baik pemuda maupun orang tua dari ketiga negeri administratif yang masuk dalam petuanan namasawarpun yang kurang lebih berjumlah 30 orang telah siap untuk ikut serta dalam ziarah tersebut. Rombongan peziarah dibagi menjadi tiga kelompok, kelompok pertama dipimpin oleh seorang Orlima yang bertugas untuk berziarah ke-5 makam dengan rute Rumah Adat – Mesang Jadi – Gunung Mangis – Gunung Tujuh – Batu Lanang – Parigi Laci, yang kemudian kelompok ini disebut kelompok gunung tujuh. Kelompok kedua dipimpin oleh Orlima Kepala dan seorang Imam untuk berziarah ke-5 makam dengan rute Rumah Adat – Kebun Kelapa – Papanberek – Boy Kerang – Kubor Gila – Kota Banda – BatuMasjid – Parigi Laci. Kelompok ke tiga adalah kelompok yang dipimpin oleh seorang Orlima dan mendapatkan rute lewat jalur laut. Ketiga kelompok itu telah disiapkan dengan berbagai macam perbekalan diantaranya “kaboro” (nasi yang dibungkus dengan daun pisang dan dimasak menggunakan santan kelapa), dan nantinya akan bertemu dan berkumpul di parigi laci. Dalam pembagian kelompok, para pemuda akan lebih cenderung dimasukan dalam kelompok satu dan dua karena pertimbangan medan yang harus ditempuh. Saya selalu digabungkan dalam kelompok satu dengan rute gunung tujuh. Kegiatan ziarah ini serasa bagaikan menapak tilas sejarah peradaban negeri banda beberapa abad silam. Suasana alam yang begitu indahnya dengan medan yang lumayan terjal begitu menguras tenaga ku. Namun canda tawa dan cerita yang selalu disampaikan oleh Orlima yang menjadi pemimpin kelompok kami seakan menjadi  penambah semangat untuk terus menyusuri situs dan peninggalan sejarah negeri banda tercinta. Setelah kurang lebih 4 jam menyusuri hutan menuju situs yang akan diziarahi, akhirnya kelompok kami tiba di parigi laci yang merupakan titik berkumpul ketiga kelompok ziarah. Pada saat tiba di parigi laci terlihat kelompok yang melewati jalur laut telah tiba duluan dengan berbagai perbekalan yang telah tersedia. Rasa lapar dari wajah kedua kelompok yang telah tiba tidak dapat disembunyikan, namun kami tetap harus menunggu sampai kelompok papanberek tiba untuk sama-sama menikmati hidangan tersebut. 30 menit setelah kami tiba, kelompok papanberekpun tiba di tempat berkumpul. Setelah semuanya duduk secara teratur, doapun dipanjatkan oleh seorang imam untuk ziarah di parigi laci. Setelah membacakan doa-doa tahlil, “Parigi Laci” sebuah sumur tua yang terletak di pesisir pantai ini pun dibuka penutupnya dan di ambil airnya untuk keperluan di rumah adat. Setelah mengisi penuh semua wadah yang disiapkan untuk menampung air, rombongan ziarahpun menuju ke dapur pala lautaka untuk berziarah. Setelah itu, seluruh kelompok ziarah menaiki perahu yang telah disiapkan oleh kelompok yang lewat jalur laut. Dalam perjalanan pulang sebelum ke rumah adat, perahu kami menuju tempat ziarah terakhir yaitu batu basar pante kasteng. Pada saat tiba di pante kasteng, bunyi lot-lot terdengar menyambut rombongan peziarah yang baru saja tiba. Kamipun dijemput oleh orang tua negri beserta mama-mama untuk kembali ke rumah adat. Rasa capek sepanjang perjalanan serasa terbayarkan dengan suasana keakraban dan sambutan yang begitu hangat ketika tiba di rumah adat namasawar.
Malam Buka Puang…………………..
                Pada sore hari menjelang malam buka puang para Orlima sudah mulai terlihat dengan kesibukannya. Orang tua negri  terlihat telah mempersiapkan mayang kelapa yang dibungkus dengan kain khas kampong namasawar, sementara orlima kepala beserta orlima lainnya telah berangkat untuk menandai “bulu bendera lima” (lima buah pohon bambu yang akan digunakan selama acara buka puang berlangsung). Setelah selesai shlat isya, berduyun-duyun masyarakatpun memenuhi areal rumah adat namasawar untuk menyaksikan prosesi buka puang kampong adat namasawar pada malam ini. Undangan dari kampong adat Ratu dan Kampong Fiat pun terlihat telah memenuhi kursi yang disediakan. Tepat pukul 21.00 wit, lampu disekitar rumah adatpun dimatikan suasanapun semakin senyap. Kesenyapan pun sirnah ketika suara lot-lot tifa dibunyikan berkali-kali kemudian terlihat beberapa orang yang keluar dari rumah adat dengan membawa dua buah obor, satu buah tiwal dan satu buah gong lengkap dengan ikat kepala berwarna putih khas kampong adat namasawar, dibagian depan terlihat lima orang orlima dengan kain tapi membawa dua buah parang dengan berlari-lari kecil dan kemudian hilang dalam kesenyapan malam. Setelah kurang lebih 30 menit berlalu terdengar bunyi tiwal lot-lot yang semakin mendekat ke arah rumah adat, ternyata mereka adalah kelompok yang ditugaskan untuk memotong bendera lima yang telah ditandai pada waktu sore tadi. Lima batang pohon bambu tersebut pun diletakan ditempat yang telah disediakan dan tidak menyentuh tanah sebelum puang terbuka.
                Tepat pukul 24.00 prosesi buka puangpun dimulai orang tua negeri namasawar beserta lima orang Orlima dan Mama lima masuk ke dalam kamar puang untuk melaksanakan prosesi buka puang, tidak lebih dari 30 menit puang pun terbuka. Meja puang di dalam kamar puang pun telah dipenuhi dengan benda-benda adat kampong namasawar. Begitu puang terbuka, tiwal dan gong kampong adat namasawarpun dibunyikan dan dengan serentak gerbang, bendera lima dan bendera-bendera adatpun dipasang di sekitar rumah kampong namasawar. Jendela-jendela rumah adatpun dibuka pertanda puang telah terbuka dan kegiatan adat di kampong namasawar sudah dimulai. Setelah puang terbuka, saudara-saudara dari kampong adat Ratu dan Fiat dipersilahkan untuk masuk ke kamar puang dan melihat puang. Setelah undangan dipersilahkan untuk melihat puang, keluarlah lima orang penari cakalele diikuti dengan puang dan lima orang mai-mai dan dua orang maruka. Setelah hormat pada puang dan bendera lima, kelima penari cakalele ini pun mementaskan tarian cakalele khas kampong adat namasawar. Tarian tersebut merefleksikan betapa gagahnya para prajurut kampong namasawar dalam melawan penjajah belanda pada saat itu. Setelah memntaskan tarian cakalele, kemudian penari cakalele beserta lima mai-mai dan dua orang maruka namasawar mementaskan tarian maruka yang diiringi musik gong sambilang dan kabata namasawar. Pentas tarian maruka merupakan penutup dari rangkaian prosesi buka puang di kampong namasawar. Namun kegiatan cakalele dan tarian maruka akan terus dipentaskan setiap malamnya selesai shalat isya selama rumah kampong dalam keadaan terbuka sampai dilaksanakan acra tutup kampong.
BUKA PUANG ADALAH BUDAYA YANG HARUS TERUS DI LESTARIKAN DI BANDA NAIRA, SELAIN SEBAGAI SEBUAH TRADISI, BUKA PUANG MEMILIKI BERBAGAI MAKNA FILOSOFIS YANG MENJELASKAN TENTANG IDENTITAS KATONG SEBAGAI ORANG BANDA”




Rabu, 28 Januari 2015

KEKUATAN MIMPI ……………

Berawal dari mengejar mimpi itulah membuat saya akhirnya bisa sampai ke Jakarta. Tepatnya pada hari rabu 12 November 2014, saya tiba di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta setelah kurang lebih 3 jam perjalanan menggunakan pesawat terbang dari bandara pattimura ambon. Walaupun sudah beberapa kali ke jakarta namun ini adalah kali pertamanya saya akan menetap lama dan harus mencari tempat kos di sekitar kampus Universitas Indonesia Salemba Jakarta Pusat.
Oh ya pembaca sekalian, perkenalkan nama saya Aditya Putra Basir dan akrabnya disapa Adit, namun panggilan ini hanya sering dipakai di lingkungan kampus tempat saya kuliah S1 dulu dan ditempat kerja saya. Tapi di lingkungan tempat tinggal, saya akrab disapa “Sam” yah menurut orang tua nama saya harus diganti ketika kecil karena sering sakit-sakitan, begitulah pemahaman orang tua di kampung saya. Saya adalah anak kedua dari pasangan Zeina Amtju dan Basir Kamis (Alm) seorang tukang jahit yang meninggal pada saat saya berusia 8 tahun. Saya terlahir di kepulauan nun jauh di timur Indonesia Namanya Banda Naira, yang terletak di kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku. Kepulauan banda yang berada ditengah luasnya laut banda seakan menyembunyikan keindahan dan kekayaannya yang menjadi rebutan penjajah di beberapa abad yang lalu. Kejayaan itu kini tinggal kenangan. Pala yang dulu menjadi primadona kini bukanlah sesuatu yang istimewa. Sumberdaya lautnya yang kaya belum bisa membuat masyarakatnya menjadi sejahtera. Yang tersisa hanyalah bangunan tua, benteng-benteng yang tegak berdiri dengan angkuhnya seakan menunggu kapan kejayaan di tanah ini akan kembali terulang.
Dibesarkan dari kluarga yang sederhana dengan keterbatasan ekonomi membuat saya tidak berani untuk bermimpi yang terlalu tinggi, untuk bisa makan dan melanjutkan sekolah saja sudah bersyukur. Ditengah hempitan ekonomi keluarga, tampil sosok Inspirator yang seakan tidak pernah lelah memberikan semangat kepada saya dan kedua saudara saya. Dialah “Ibu” yang walaupun hanya seorang lulusan SMP namun bagi saya cara berfikirnya tak kalah dengan orang yang berpendidikan tinggi. Walaupun bekerja serabutan dengan penghasilan yang paspasan ibu selalu mengutamakan kepentingan pendidikan kami dibanding keperluan lainnya, bahkan ia rela menahan lapar asalkan uang spp kami bisa dilunasi, bahkan ia rela tidak menikah lagi sejak ditinggal wafat almarhum ayah. Satu pesan Ibu yang selalu ku ingat hingga saat ini “Belajarlah setinggi-tingginya Nak, Ibu akan bangga jika kalian bisa menjadi orang yang berpendidikan tinggi. Ibu tidak bisa mewariskan harta buat kalian, namun ibu akan berusaha menjadikan kalian orang yang berpendidikan. Ingatlah dengan pendidikan kalian bisa mendapatkan pekerjaan yang layak  dan bisa memperbaiki perekonomian keluarga”.
Setelah lulus SMP saya memutuskan untuk melanjutkan study di SMK Perikanan Banda yang kebetulan baru dibuka di kecamatan banda pada tahun itu. Keputusaku ternyata sangat tepat, di SMK inilah awal saya mengenal luasnya dunia dan dari sinilah saya mulai membangun mimpi. Pada saat menempuh pendidikan di SMK semua siswa diwajibkan mengikuti pendidikan sistem ganda (PSG) selama 6 bulan di perusahaan-perusahaan yang telah bekerja sama dengan pihak sekolah. Pada saat duduk di kelas II, saya ditempatkan di kapal KM Damarina 105 milik PT DAB yang beroperasi di Bali. Ini adalah hal baru bagi saya, selama 6 bulan saya akan berada di bali untuk belajar. Kesungguhan saya dalam PSG membuat pihak PT DAB membiayai saya dan tiga orang teman lainnya selama tiga bulan tambahan untuk pengambilan sertifikat pelayaran. 9 bulan belajar dan bekerja di perusahaan membuat saya mulai berani bermimpi untuk bisa bekerja diperusahaan tersebut setelah lulus nantinya. Setelah menyelesaikan pendidikan di SMK saya mendapatkan tawaran bekerja di PT DAB tepatnya di KM Damarina 209 untuk beroperasi di perairan sumatera barat. Kesempatan ini tidak saya sia-siakan. Setelah enam bulan kontrak kerja saya, saya memilih untuk mengundurkan diri dari PT DAB dan melanjutkan studi ke jenjang S1 di salah satu PTS di Banda Naira. Pada saat kuliah saya termasuk orang yang lumayan cerdas (kata dosen dan teman-teman saya, net.) hal inilah yang membuat saya mendapat beasiswa dari yayasan penyelenggara pendidikan tinggi tersebut. Selama kuliah saya membayar SPP hanya pada semester pertama, selebihnya dibayarkan oleh yayasan. Selama kuliah saya sangat aktif di berbagai organisasi kampus maupun organisasi masyarakat, inilah yang menyebabkan berbagai tawaran pekerjaan mengehmpiri saya bahkan sampai tawaran untuk dicalonkan menjadi anggota DPRD, namun saya bukanlah orang yang tamak, pesan-pesan dari ibu selalu tertanam dalam ingatan saya. Saya hanya menerima tawaran sebagai tenaga pengajar lepas pada SMK N.1 Banda dan MTs Al-Hilaal Banda, itupun bukan berdasarakan faktor bayaran yang besar, namun karena panggilan hati untuk mengabdi untuk mencerdaskan generasi bangsa di daerah yang masih sangat kekurangan guru. Jadwal mengajarpun disesuaikan dengan jadwal kuliah saya sehingga study saya tidak terganggu.
Tepat pada tanggal 19 April 2014 saya diyudisium sebagai seorang  sarjana perikanan dengan predikat cum laude. Hari itu adalah hari yang paling bersejarah dalam hidup saya, berkat doa ibu dan perjuangannya akhirnya saya bisa menjadi seorang yang berpendidikan tinggi. Setelah berhasil menjadi seorang sarjana membuat saya semakin yakin bahwa apapun dapat kita raih selama kita mau berusaha. Pada bulan maret 2014 saya mengirimkan berkas untuk mengikuti seleksi beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan RI agar dapat melanjutkan study ke program pascasarjana. Awalnya saya merasa minder karena sebagian besar peserta seleksi adalah dosen perguruan tinggi yang berada di Maluku. Namun, Alhamdulillah dari sekian banyak pelamar dari provinsi Maluku hanya saya sendiri yang lolos seleksi administrasi pada saat itu. Setelah mengikuti berbagai tahapan seleksi lanjutan seperti wawancara, LGD bahkan Program Kepemimpinan akhirnya saya menjadi penerima beasiswa LPDP Kementerian Keuangan RI. Sebelum memulai program pascasarjana, kami awardee LPDP yang mendaftar melalui jalur afirmasi diwajibkan untuk mengikuti program persiapan bahasa inggris, dan saya mendapatkan lokasi study di Universitas Indonesia Salemba Jakarta Pusat. Mimpi itu kini menjadi nyata. Dulu pada saat PSG di bali, saya pernah ditanya oleh Mulaim I Km Damarina 105, “Adit, apakah kamu pernah ke Jakarta?? Belum Mas, Ah kamu kan orang Indonesia dan Jakarta Itu Ibu Kota Negara Indonesia, masa belum kesana sih.” Kini bukan hanya ke jakarta, tapi saya akan tinggal di jakarta dan belajar pada salah satu universitas terbaik di jakarta.
Bertemu Keluarga Baru……
Dua hari sebelum berangkat ke jakarta, saya sempat menghubungi Agus via email untuk mencarikan kamar kos di sekitar kampus UI Salemba. Agus adalah putra ternate yang juga punya mimpi yang sama dan beruntung seperti saya. Agus kebetulan sudah duluan berada di jakarta dan telah mendapatkan kosan di sekitar kampus. Awal mula saya bertemu agus adalah pada saat seleksi wawancara di makassar. Agus adalah satu-satunya peserta seleksi yang berasal dari maluku utara, dan segrup dengan saya pada saat LGD (seleksi diskusi kepemimpinan). Setibanya di jakarta saya langsung menuju ke alamat kosan yang telah di carikan agus. Jaraknya lumayan dekat dengan kampus, sehingga akses menuju kampus bisa dengan berjalan kaki. Ternyata agus tidak hanya mencarikan kosan untuk saya sendiri, namun juga untuk 5 teman lainnya yakni Winda (Jawa Tengah), Laili (Jawa Tengah), Imy (Lombok), Eka (Madura) dan Sudip (Papua). Mereka inilah keluarga baru saya (Awardee LPDP) yang saat ini sedang  study di UI Salemba untuk Indonesia Hebat di 2045.

“GANTUNGKANLAH MIMPIMU SETINGGI LANGIT, KALAUPUN KAMU NANTINYA TIDAK BISA SAMPAI KE LANGIT, PALING TIDAK KAMU TELAH BERADA DI ANTARA BINTANG-BINTANG (Ir. SOEKARNO)”

Sabtu, 24 Januari 2015

Suasana Kekerabatan Menghiasi Keindahan Pantai Malole dan Tradisi Masrakat Banda Naira

Tradisi "Jalang-Jalang" (Piknik) Menjelang Ramadhan


    Senyum ceria menghiasi puluhan bahkan ratusan wajah masyarakat Banda Naira di setiap minggu terakhir menjelang datangnya Bulan Ramadhan. mulai pagi hingga sore hari pada hari minggu terakhir menjelang bulan ramadhan, orang banda beserta keluarga menghabiskan waktu mereka untuk berwisata di pantai. tradisi ini telah di lakukan oleh masyarakat banda secara turun temurun dari generasi ke generasi. suasana keakraban begitu terasa ketika bisa berkumpul bersama untuk menikmati keindahan pantai di Banda Naira.

     Pantai Malole menjadi salah satu tempat paforit tradisi jalang-jalang masyrakat banda. selain pantainya yang indah, berbagai fasilitas wisata tersedia di pantai malole. Pantai Malole terletak di Dusun Lautaka RT 03 Negeri Merdeka. sejak tahun 2011 Pemerintah Negeri Merdeka secara serius membangun Fasilitas Wisata pantai malole yang merupakan salah satu aset wisata kabupaten Maluku Tengah. selain wisata pantai pengunjung dapat menikmati keindahan perkebunan pala di sekitar pantai. tidak hanya menampilkan keindahan alamnya pesona wisata pantai malole pun dilengkapi dengan berbagai situs sejarah peninggalan leluhur masyarakat banda yang terus dilestarikan hingga saat ini. pada saat melaksanakan tradisi "jalang-jalang" di pantai malole, masyarakat tidak hanya dapat berwisata bahari, namun juga dapat menikmati agrowisata dan wisata sejarah. Adit.